Minggu, 27 Februari 2011

Selain butuh bahan baku kayu yang banyak, popok dan pembalut sekali pakai menjadi sumber sampah yang sulit terurai. Sebenarnya ini bisa dihindari dengan produk cuci ulang.

Selain butuh bahan baku kayu yang banyak, popok dan pembalut sekali pakai menjadi sumber sampah yang sulit terurai. Sebenarnya ini bisa dihindari dengan produk cuci ulang. Bukan cuma karena banyaknya, (sampah) ini juga berbahaya karena mengandung plastik yang susah terurai."

Sri Bebassari Ketua InSWA
SEORANG kerabat per nah mengatakan betapa beruntungnya perem puan yang lahir di zaman modern. Ini bukan soal kesamaan gender, melainkan benda bernama pembalut sekali pakai.

Pembalut sekali pakai seperti surga yang melepaskan wanita dari ketidaknyamanan dalam beraktivitas dan segala kerepotan mencuci. Mungkin hampir seluruh wanita di dunia sependapat karena saat ini pembalut telah jadi barang kebutuhan yang wajib, bahkan sering lebih wajib daripada kosmetik.

Mereka yang sudah menjadi ibu pun makin dimanjakan dengan popok sekali pakai. Namun tanpa Anda sadari, `surga' kepraktisan ini justru menciptakan `neraka' lingkungan.

Jika seorang wanita saja menggunakan tiga pembalut sekali pakai per harinya dengan masa subur sekitar 38 tahun, sedikitnya ia membuang 8.202 sampah pembalut selama hidup.

Kalikan dengan jumlah penduduk perempuan dan ditambah lagi dengan sampah popok, maka jangan heran jika di masa depan Indonesia punya gunung dari limbah pembalut. "Bukan cuma karena banyaknya, (sampah) ini juga berbahaya karena mengandung plastik yang susah terurai. Jadi, ya sampai ratusan tahun lagi (sampah pembalut dan popok) masih ada," ujar Ketua Indo nesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari, Rabu (23/2).

Sri mengatakan, InSWA belum mengkaji khusus sampah pembalut dan popok sekali pakai. Namun, ia meyakini kedua jenis produk tersebut telah menjadi penyumbang signifikan sampah di Indonesia. Sekarang ini sampah plastik mencapai 15% dari total sampah di Tanah Air.

Konsekuensi lingkungan belum berhenti di situ. Pembuangan popok yang begitu saja tanpa dibersihkan membuat TPA seperti septic tank raksasa.
Di Amerika Serikat (AS), hal ini telah diperbincangkan sejak 1975 (Happynappy.ca).

Banyak popok yang materialnya juga dibuat dari pulp kayu.
Ini berarti jutaan pohon harus dikorbankan hanya untuk menampung kotoran.

Rhode Island Solid Waste Management Corporation mengemukakan, di AS 90% orang tua memilih popok sekali pakai, sekitar setengah juta pohon tiap tahunnya dikorbankan untuk popok tersebut.

`Biaya' lingkungan yang besar inilah yang membuat banyak orang di sana jengah.
Setidaknya sejak dua dekade lalu popok cuci ulang kembali populer.
Daur ulang Hal ini pula yang kini terjadi di Indonesia. Setidaknya dua tahun ini, produsen popok cuci ulang menjamur. Tapi, popok yang juga populer disebut clodi--dari bahasa Inggris cloth diapers--ini berbeda dari popok kain masa nenek kita dulu.
Beberapa popok bahkan sudah sepraktis celana.

Clodi macam ini salah satunya dibuat Rika Winurdiasti.
Ibu rumah tangga yang berdomisili di Jakarta ini mengaku terdorong dari kegemarannya memanfaatkan barang yang ada.

"Awalnya saya pakai selimut pesawat yang ada di rumah.
Ternyata useful banget. Lalu saya terusin (membuat) karena memang sayang sekali kalau popok hanya sekali pakai," kata lulusan Teknik Lingkungan ITB ini, yang memulai usaha pada 2009.

Popok yang awalnya dibuat untuk anaknya sendiri itu kemudian dipasang di blog pribadinya hingga mendapat respons banyak orang. Masuk ke dunia bisnis memang membuat Rika tidak lagi menggunakan bahan bekas.

Namun, selain menggunakan bahan fleece baru, ia berusaha mempertahankan semangat daur ulang dengan bentuk popok berkantong. Bahan penyerapnya bisa apa saja dan bisa dimasukkan melalui celah di pinggang belakang popok.

"Ini mendorong orang memanfaatkan bahan apa saja yang ada di rumahnya," tutur Rika yang juga pernah menggunakan bekas kain ihram.
Dengan konsep yang sekaligus daur ulang ini pula Rika memberi nama produknya Enphilia, yang artinya `cinta lingkungan'.

Memanfaatkan bahan sisa juga dilakukan pasangan Iwan Suryolaksono dan Swisse Maharani. Namun, bahan yang digunakan untuk produk bernama Ananndapers ini bukan bahan bekas, melainkan bahan sisa produksi dari pabrik, termasuk parasit yang digunakan di bagian luar popok.

Bahan baru yang khusus dipesan ke pabrik adalah bahan mikrofiber yang berfungsi sebagai penyerap utama. Mik rofiber, atau bahan dengan serat mikron, ini pula pembeda signifikan dengan popok sekali pakai yang banyak menggunakan bahan penyerap berupa bahan kimia, salah satunya Sodium polyacrylate.

Mikrofiber ini pula yang kini disediakan Enphilia. Untuk mengimbangi daya serap popok, clodi ini bisa menggunakan mikrofiber hingga empat lapis. "Popoknya jadi bisa menahan cairan sampai 8 jam," ujar Iwan di Bandung, Selasa (22/2).

Annandapers yang mulai berproduksi pada 2002 kemudian juga mengembangkan produk ke pembalut wanita cuci ulang.
Sama seperti produk clodi-nya, pembalut cuci ulang ini mengandalkan kekuatan kain.

"Industri garmen kita sangat mendukung untuk produkproduk ini. Kita punya garmen kaya sekali yang fungsinya juga macam-macam," tambah lulusan Teknik Fisika ITB ini.

Dengan umur pakai yang bisa mencapai 2 tahun untuk pembalut cuci ulang dan hingga dua generasi (bisa diturunkan) untuk clodi, jelas ratusan bahkan ribuan sampah bisa dihindari. Begitu pun soal penghematan energi, masih menjadi perdebatan.

Badan Lingkungan Inggris pada 2009 bahkan menyatakan jejak karbon dari clodi sedikit lebih tinggi daripada popok sekali pakai, yakni 570 kg CO2 berbanding dengan 550 kg CO2 untuk pemakaian selama 2,5 tahun. Tingginya jejak karbon clodi dihitung jika pengeringan menggunakan mesin cuci.

Swisse sendiri mengakui, dengan mikrofiber yang dijahit menyatu permanen dengan popok (bukan kantong), pengeringan akan sulit tanpa menggunakan mesin cuci. Meski begitu, produk cuci ulang ini jelas tetap meminimalisasi sampah yang jadi masalah besar lingkungan kita. (M-1) miweekend@ mediaindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar